(Kolatera.com) – Kampar, Riau, – Komunitas Suku Seni Riau melakukan kajian kritis dengan mengangkat tema “Mencari Tahu Asal Jadi, Ke Mana Hendak Membawa Diri” di Rumah Kreatif Suku Seni Riau yang enam tahun belakangan menggerakkan kebudayaan dan berkesenian di Indonesia secara konsisten dan profesional dengan manajemen kesenian yang teruji.
Gerakan kebudayaan tersebut adalah bagian dari Festival Sastra Melayu Riau 2024 hasil kolaborasi Rumah Kreatif Suku Seni Riau dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang membawahi Badan Bahasa serta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tema Festival Sastra Melayu Riau 2024 kali ini menghadirkan narasumber Maman S Mahayana dan Rida K Liamsi melalui zoom meeting dan luring bertempat di Studio Rumah Kreatif Suku Seni Riau, Sabtu (7/9/2024).
Dalam diskusi tersebut, Maman S Mahayana menjelaskan bahwa asal dan perkembangan kesusastraan Melayu hingga pengaruhnya di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Ia juga menyinggung awal-awal politik bahasa yang dilakukan oleh ahli-ahli Belanda dalam pengenalan aksara Latin. Menurutnya, menggunakan ejaan-ejaan yang kacau untuk kepentingan Belanda. Ia menyebutkan salah satunya huruf dalam ejaan “tj”, “oe”, dan “j”.
“Sementara, masyarakat Melayu waktu itu, sudah pandai menggunakan huruf Jawi. Yang bersumber dari Qur’an. Sejak Hamzah Fansuri, ejaannya baik sampai ke Raja Ali Haji dan itu bersifat inklusif. Termasuk dari Kesultanan atau pemerintahan pada waktu itu,” jelas Maman S Mahayana, yang juga dosen Universitas Indonesia ini.
Ia juga menyebut bahwa salah satu mukjizat yang dimiliki bangsa ini adalah bahasa yang diikrarkan pada Oktober 1928 waktu itu, dengan keputusan dan kesepakatan bersama dengan memilih bahasa Melayu sebagai cikal bakal Bahasa Indonesia.
Rida K Liamsi menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa dasar dan unsur untuk menggali kebudayaan Melayu itu sendiri. Termasuk unsur politik yang dibangun kesultanan pada masa Kesultanan Riau-Lingga. Termasuk, pengaruhnya bagi kesusastraan Indonesia hari ini.
Rida menerangkan bahwa realitas sosial yang inklusif pada masa itu menjadikan naskah-naskah tersebut bisa dipelajari masyarakat. “Apalagi ada dukungan dari Kesultanan, agar syair-syair diperdengarkan dan dipelajari oleh rakyat, ” jelasnya Datuk Rida K Liamsi dengan bersemangat.
Salah satu peserta diskusi Joni Hendri, mengungkapkan bahwa tema dalam rangkaian festival kali ini, bagaimana membongkar kesadaran kita secara kolektif sejauh mana pengaruh kesusastraan melayu dalam kesusastraan Indonesia hari ini.
“Sastra hari ini, bagi orang Melayu itu adalah sebuah realitas. Sangat dekat, macam asam pedas baung. Yang asam dari gunung diterima, yang pedas apalagi. Bersifat inklusif, ” kata Joni Hendri di sesi tanya jawab.
Dalam penutupan diskusi tersebut, Marhalim Zaini menyampaikan terima kasih kepada kedua narasumber telah bersedia meluangkan waktu mengisi diskisi sastra secara nasional. Terlihat di Zoom Meeting juga ada peserta dari Bandung, Batam, Yogjakarta, dan Medan.
“Tema ini kita angkat bertujuan sejauh mana pengaruh kesusastraan Melayu Riau dengan sastra Indonesia hari ini, ” tegas Marhalim Zaini di sela-sela diskusi tersebut.
Dalam diskusi tersebut, hadir juga novelis Hary B Kori’un, Roziah, dan sastrawan muda lainnya. selain itu, juga hadir peneliti, dosen, dan mahasiswa yang banyak bertanya dan menanggapi atas diskusi tersebut. Diskusi dipandu oleh Murparsaulian, dosen luar biasa UIN Suska Riau.
Selain itu, Marhalim juga menyampaikan bahwa diskusi tersebut juga bagian dari festival sejak awal Juli – 28 September 2024 mendatang. Penutupan diagendakan tanggal 28 September 2024 nanti.
Rangkaian Festival Sastra Melayu Riau 2024 tersebut ada Bincang Sastra, Pelatihan Sastra, Sayembara Sastra, Film Dokumenter Tokoh Sastra, Pergelaran Sastra, Penerbitan Buku, dan Bazar Buku.***